Jadi Saksi Kasus Wali Kota Bima, Pj Gubernur NTB Mengaku Ditanya Penyidik KPK soal IUP
Penjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Lalu Gita Ariandi mengaku dicecar tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait penerbitan izin usaha usaha pertambangan (IUP) operasi khusus PT Tukad Mas. Adapun Gita dipanggil sebagai saksi dugaan korupsi Wali Kota Bima Muhammad Lutfi yang menjadi tersangka dugaan gratifikasi dan pemborongan proyek. “Kira-kira pertanyaan terkait substansi bagaimana proses penerbitan izin dari izin usaha pertambangan operasi khusus PT Tukad Mas,” kata Gita saat ditemui awak media usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (21/11/2023) https://143.42.75.229.
Gita mengaku, saat izin tambang itu diterbitkan ia tengah menjabat sebagai Kepala Dinas Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) NTB. Gita mengaku menerbitkan IUP tersebut sesuai dengan standard operating procedure (SOP) yang berlaku. Izin baru keluar setelah ada peraturan teknis dari Dinas Teknik. Adapun PT Tukad Mas bergerak di bidang pertambangan batu. Ketika ditanya lebih lanjut mengenai apakah Lutfi ada di dalam struktur perusahaan itu, Gita tidak menjawab dengan gamblang. “Saya ditanya hanya seputaran tadi proses perizinan. Saya jawab sesuai kompetensi saya selaku kepala dinas perizinan,” tutur Gita.
Gita mengaku izin tersebut diterbitkan pada 2 Oktober 2019. Kemudian, pada 19 Desember tahun yang sama ia menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi NTB. Setelah itu, ia mengaku tidak mengikuti perkembangan perusahaan tersebut. namun, ia mengklaim proses izin itu berlangsung dengan aman. “Aman, sesuai dengan SOP. Ada pertimbangan teknis dari dinas teknis yaitu dinas ESDM,” kata Gita. Lutfi ditahan KPK pada Kamis (5/10/2023) karena diduga menerima gratifikasi dan mengkondisikan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kota Bima bersama keluarga intinya. Lutfi memulai dengan meminta dokumen sejumlah proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pemkot Bima.
Selanjutnya, Lutfi memerintahkan sejumlah pejabat di Dinas PUPR dan BPBD menyusun berbagai proyek dengan nilai anggaran besar. Lelang kemudian dijalankan hanya sebagai formalitas karena Lutfi menunjuk sendiri kontraktor yang menjadi pelaksana proyek. Padahal, perusahaan tersebut tidak memenuhi syarat. Dengan mengondisikan proyek itu, Lutfi diduga menerima setoran dari para kontraktor dengan jumlah hingga Rp 8,6 miliar.